Jumat, 25 Juli 2008

MENULIS vs MENGAJAR

Sejak saya menjadi penulis buku pelajaran dan tes di LIA, sering sekali orang bertanya enakan nulis apa ngajar? Pertanyaan yang sulit dijawab...
  1. Keduanya sama-sama menegangkan, tapi dalam wujud yang berbeda. Mengajar jadi menegangkan ketika akan ada supervisor yang datang untuk melihat cara kita mengajar. Tapi hal ini tidak terjadi terlalu sering. Supervisor menilai guru tidak hanya dari observasi langsung, tapi juga dari kuesioner dan pencapaian siswa. Menulis jadi menegangkan ketika kita sedang dikejar tenggat, dan ini sering sekali... sesering Romeo merindukan Juliet.
  2. Keduanya sama-sama perlu persiapan. Persiapan mengajar lebih mirip dengan persiapan aktor atau pembawa acara. Alur harus diresapkan di dalam kepala: Bagaimana saya memulai pelajaran supaya bisa start with a bang? Saya harus bilang apa untuk menjelaskan ini? Saya harus buat lelucon apa untuk menyampaikan itu? Persiapan menulis adalah riset dan menyusun konsep. Bicara soal persiapan, mengajar lebih enak karena lebih damai. Persiapan menulis bisa melibatkan tarik urat dan adu pendapat yang membuat kepala mau pecah. Tapi tidak selalu begitu, tergantung situasi dan orang-orang dengan siapa kita berunding. Akhir-akhir ini, alhamdulillah, kami lebih jarang tarik urat.
  3. Keduanya sama-sama perlu kamus yang memadai. Sebagai penulis kita bisa bekerja dengan lebih nyaman daripada guru, karena kita bisa memakai kamus yang di-install di komputer. Sementara guru harus melatih otot biseps dan triseps dengan menenteng-nenteng buku tebal yang bisa dipakai menggebuk es balok.
  4. Keduanya sama-sama bisa jadi pelarian dari kehidupan nyata. Begitu kita masuk kelas dan puluhan pasang mata menatap, mengemis ilmu... hilang sudah semua beban batin dan kita akan lebur dengan suasana belajar-mengajar yang mengasyikkan. Bicara soal pelarian, menulis tidak bisa menjanjikan pelarian yang mudah. Ketika kita menulis cerita, lebih mudah untuk lebur dalam perjalanan nasib karakter. Tapi ketika kita menulis materi pelajaran, dan pada saat itu kita merasa 'tidak jodoh' dengan silabus, hasil riset, dan mood maka jangan mengharapkan kenikmatan apa-apa.
  5. Keduanya sama-sama membutuhkan alat bantu. Alat bantu mengajar tidak terlalu bergantung pada teknologi dan sebagian besar bisa dibuat sendiri (atau pinjam teman): flash cards, dadu, papaer strips, gambar, glue tac, stiker kecil, dll. Untuk menulis, alat bantunya jauh lebih mutlak: komputer dan printer. Dan ketika lampu mendadak mati ketika kita belum menyimpan data terakhir, atau printer ngambek, sedangkan tenggat sudah di depan batang hidung, maka jangan heran jika saya mengeluh pensiun dini harus nunggu sampe umur berapa siy?
  6. Keduanya sama-sama memberi kepuasan batin. Sebagai guru batin kita puas ketika berhasil membuat murid yang tidak paham menjadi paham, tidak berani bicara jadi lancar cas cis cus, apalagi jika terjadi perjumpaan kembali dengan bekas murid dan mereka sudah mengalami banyak kemajuan. Sebagai penulis batin menjadi puas melihat buku/buklet tes yang sudah dicetak. Tapi... kepuasan ini tidak berlangsung lama karena (biasanya) segera diikuti oleh tubian protes.
Rekan-rekan guru dan penulis yang tercinta, menurut Anda mana yang lebih enak?

Selasa, 08 Juli 2008

SAWAH PENULIS

Suatu hari rekan penulis bernama Arde bertanya: Rekan penulis tangguh, sawah kita berupa apa ya? Maka izinkan saya menjawabnya sebatas pengetahuan saya yang masih sangat terbatas ini. (Jika ada yang ingin menjumpai Arde, add awisben di YM Anda. Dia belum punya blog!)

1. LUMBUNG IDE
Tiap penulis harus punya stok embrio konsep/ide cerita yang siap pakai. Oleh karena itu buatlah lumbung ide yang berisi minimal lima ide cerita. Tiap kali satu konsep/ide cerita dieksekusi, kita harus tambahkan konsep/ide cerita baru.

2. KARAKTERISASI
Lakukan pendalaman untuk menghidupkan karakter-karakter yang kita ciptakan. Kita harus menganggap mereka sungguh-sungguh eksis, bahkan kita harus tahu pasta gigi apa yang mereka gunakan. Bagaimana caranya? Kita harus sudi bercakap-cakap dengan karakter ciptaan kita. Luangkan beberapa menit dalam satu hari untuk bicara dengan mereka. Cari tempat yangmemberi keleluasaan untuk melakukan hal ini (supaya tidak dikira gila, kekeekekkkk...) dan lakukan terus-menerus sampai pertanyaan-pertanyaan dalam benak terjawab dan keinginan serta perasaan tiap karakter menjadi jelas. Kondisikan perasaan kita sehingga kita menjadi sangat gemas, rindu, tidak sabar untuk melakukan sesuatu bagi atau terhadap karakter kita. Perasaan gemas semacam ini akan menciptakan letupan rasa yang mengejutkan pembaca, bahkan diri kita sendiri.

3. MEMORI FOTOGRAFIS
Kita perlu memperkaya memori fotografis kita. Ini sangat berguna untuk membantu kita mendeskripsikan latar. Kita perlu mengumpulkan gambar dan foto tempat-tempat, bercakap-cakap dengan orang yang baru melakukan perjalanan, atau menjelajahi situs-situs perjalanan (meskipun kita sendiri tidak punya cukup kocek untuk melakukan perjalanan, hihihiiiii...).

4. JEJARING
Penulis harus selalu memperluas jejaring di antara sesama penulis, dengan penulis senior, dengan penerbit, dengan sutradara, dengan produser, dll. Dengan membuka diri dan melakukan pendekatan pribadi, insya Allah pintu rizki akan semakin banyak dan terbuka semakin lebar.

5. PERANGKAT KERAS & LUNAK
Ini juga termasuk sawah kita. Kita harus merawat baik-baik komputer, printer, dan software kita. Termasuk juga mengorganisir data-data yang ada di dalamnya. Lakukan defragmentasi secara berkala dan teratur. Bersihkan virus-virus.

6. KEBERANIAN UNTUK DIKRITIK
Ah... hidup memang penuh kelakar.Ada cerita-cerita yang kita anggap indah, menyentuh, mendalam, tapi bagi beberapa orang terkesan tolol dan mengada-ada. Ada cerita-cerita yang kita ciptakan spontan dan tanpa perenungan berkepanjangan, tapi menimbulkan pesona bagi beberapa orang. Oleh karena itu jangan pernah takut pada hal yang bernama kritik. Semua penulis--entah itu modul, tes, skenario, fiksi, non fiksi--sebetulnya sama saja, harus melalui proses revisi yang panjang dan berliku, penulisan ulang, rapat naskah, dll. Di sana selalu ada kemungkinan tulisan kita dipertanyakan kebenarannya, dipandang sebelah mata, dicela, dicaci, bahkan ditertawakan hingga meja di hadapan kita terguncang-guncang (bukan karena dianggap lucu tapi karena dicap konyol!). Kritik adalah vitamin untuk penulis. Percayalah, tanpa kritik kita tidak akan meraih kemajuan apapun.

7. IMAN YANG TERPELIHARA
Yakinlah bahwa jika kita merasa perjuangan kita tidak bertepi, itu adalah keistimewaan yang diberikan Tuhan agar kita terus berkreasi. Cerita macam apa yang bisa diharapkan dari penulis yang tidak pernah susah, merasakan peristiwa yang nyaris mematikan, mengalami kehilangan, melalui kemelut dan dilema, menghadapi tubian kekecewaan? Itu semua adalah cara Allah untuk memberi kita ide cerita. Jika hidup kita ruwet lahir-batin, kita justru harus bersyukur. Itu adalah ide cerita gratis dari Allah. Jangan berputus asa hanya karena konsep acara TV kita telanjur diberikan pada TV dan akhirnya digarap penulis lain. Juga jangan berhenti menulis karena naskah buku kita yang sudah sekian jilid diserahkan, tidak kunjung diterbitkan oleh penerbit yang semula sudah melambungkan harapan kita ke langit ke tujuh (halah, curhat colongan, wakaakkaaa). Menulislah untuk menulis itu sendiri. Jangan pikirkan bagaimana rupa buku yang akan terbit, bagaimana hasil eksekusi skenario kita, atau berapa rupiah yang akan kita dapatkan. Jangan. Menulis saja. Menulis terus. Lakukan dengan sepenuh hati. Dan yang lain akan datang dengan sendirinya. Tanpa dipaksa. Karena hasil dari kerja keras kita bukan di tangan kita, melainkan dalam genggaman Sang Maha Menulis Skenario, Sang Maha Menciptakan Karakter, Sang Maha Pencipta yang menciptakan semua latar bahkan hingga adegan terkecil yang dilakoni oleh mahluk-mahluk terkecil seperti bakteri dan amuba.
Tetap menulis. Semangat!

Kamis, 03 Juli 2008

BENAHI DULU SAWAHMU

Sebuah jurnal oleh Arde Wisben,
seorang penulis yang saya jumpai di komunitas Penulistangguh dan Kemudian
Ada yang berbeda dari warung bebek goreng yang biasa saya sambangi. Bila beberapa waktu lalu mereka selalu membuka tenda di depan sebuah ruko, sekarang mereka telah berada di dalam ruko itu sendiri. Penasaran, saya tanya pada seorang pelayannya, "Mas, sekarang nyewa ya?"

Kaget, mendengar jawaban lugas sang pelayan, "Beli!"

Oh, hebat sekali pemilik warung ini. Lokasi di sekitar jalan Petogogan, Jakarta Selatan ini pasti harganya sudah melebihi angka 1 M. Banyak juga uangnya. Bila ada kesempatan, ingin saya berbincang dengan juragan warung bebek goreng ini.

Lalu, kesempatan pun itu datang. Beberapa hari yang lalu, saya datang ke warung itu agak malam. Bebek goreng favorit sudah habis. Hanya tersisa ayam goreng dan seekor lele. Melihat sambal mentah kesukaan masih ada, saya rela untuk bersantap ayam goreng saja malam itu.

Sengaja mengambil posisi posisi duduk di meja bagian luar, saya berhadapan langsung dengan sang pemilik, yang sepertinya sedang asyik menghitung uang. Sesekali ia menyelipkan uang kepada para krunya. Saya kira itu adalah tips mereka malam itu.

Usai makan, saya coba membuka obrolan, "Jadi gimana status ruko ini Mas."

Kontan, sang pemilik, yang kemudian saya ketahui bernama Sugeng, menghentikan aktifitas menghitung uang dan berkata, "Saya beli Mas."

Ya, itu saya sudah tahu sebelumnya. Yang membuat penasaran adalah, bagaimana cara dia membelinya. Hus, tak perlu buru-buru, saya yakin jawaban itu akan meluncur sendiri dari mulut Sugeng. Dan benar, Sugeng melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat.

"Yang punya ruko ini, saya kenal sudah 11 tahun, Mas," lanjut Sugeng, "Suatu malam saya diundang kerumahnya."

Kata demi kata mengalir dari mulut Sugeng. Ada nada bangga di sana. Sesekali dengan nada tertahan, setengah berbisik. Sugeng sepertinya ingin meyakinkan bahwa semua ceritanya adalah fakta yang benar.

Malam ketika diundang ke rumah sang pemilik ruko itu, boleh jadi merupakan titik balik dalam hidup Sugeng. Ia ditawari oleh pemilik ruko untuk mengambil alih rukonya. Sugeng kaget. Tak pernah hadir dalam mimpinya keinginan untuk memiliki sebuah ruko. Sugeng merasa cukup dengan tenda biru, beberapa meja dan kursi.

Ya, seperti pedagang makanan kebanyakan, Sugeng hanya mengandalkan kebaikan hati pemilik toko untuk merelakan teras mereka dipakai oleh penjual makanan. Tekat dan semangat, Sugeng menjadi bagian dari komunitas pedagang makanan yang memenuhi setiap sudut kota, di waktu malam.

Meski harus diakui, Sugeng relatif lebih mapan. Ia punya mobil yang siap sedia bergerak bila stok bebek habis. Punya lebih kurang 5 anak buah yang handal. Minimal lebih mapan dari seorang anak muda yang saya temui berjualan pecel lele di daerah Kalibata, beberapa tahun yang lalu.

Pemuda itu, awalnya datang ke Jakarta dengan niat berdemo membela mantan presiden Gus Dur. Entah sebab apa, perjalanannya di Jakarta berubah menjadi tukang demo masak pecel lele. Modalnya standar; tenda biru, meja dan kursi serta wajan. Semua dikerjakan sendiri. Saya sampai membuka tutup teh botol sendiri, karena tak sabar menunggu ia menyediakan pesanan buat pelanggan lain.

Kembali ke Sugeng, pembicaraan malam itu tampaknya tak masuk akal baginya. Bagaimana mungkin ia memiliki ruko di bilangan Petogogan. Apa kata dunia?

Setelah memberi sedikit waktu bagi Sugeng untuk syok, sang pemilik melanjutkan pembicaraannya tentang penertiban yang sedang marak di Jakarta. Kali ini topiknya mulai masuk akal bagi Sugeng. Ia tahu betul derita para pedagang ikan dan bunga di Barito. Dan baru-baru ini ia mendengar jeritan pedagang makanan yang diusir dari Taman Gajah Darmawangsa.

Perbincangan malam itu menjadi makin nyata bagi Sugeng. Tapi tampaknya kata perbincangan tidak tepat untuk menggambarkan suasana malam itu. Sugeng lebih tepatnya dinasehati oleh pemilik ruko.

Sugeng diberitahu kemungkin terburuk bila ruko itu tidak dimilikinya. Akan ada orang lain yang memiliki ruko tersebut. Andaikan Sugeng lolos dari penertiban, belum tentu pemilik ruko yang baru mengijinkannya untuk tetap berjualan.

Malam itu rasanya menjadi malam yang akan dikenang Sugeng seumur hidupnya. Ia mendapat nasehat dari seorang tutor yang luar biasa. Dari sekian banyak omongan sang tutor, yang melekat erat dalam pikiran Sugeng cuma sebait kata, "Benahi dulu sawahmu."

Ya, Sugeng dinasehati bahwa sebagai pedagang makanan, penting baginya untuk mempunyai tempat yang permanen. Tempat itu ibarat sawah baginya.

Bila ia sering berpindah, maka langganan akan sulit mencarinya kembali. Begitupun kalo ia pulang ke kampung, ia harus yakin bahwa ketika kembali ke Jakarta, tempat berdagangnya masih ada.

Singkat kata, hanya satu kata yang keluar dari mulut Sugeng, itu pun nyaris tak terdengar: "Berapa?"

Begitulah, Sugeng pulang dengan badan yang serasa melayang. Satu setengah milyar, dari mana akan kudapat? Tapi Sugeng menikmati betul percakapan mereka malam itu. Sugeng disadarkan bahwa membenahi sumber penghasilan lebih utama dibanding membeli atribut untuk menunjukkan kesuksesan. Setelah berunding dengan istrinya, Sugeng sampai pada kesimpulan, mobil kebanggaannya akan dilepas. Begitu pun sebuah rumah.

Selanjutnya dengan bermodal hasil penjualan rumah dan mobil tadi, Sugeng kembali mengunjungi mentornya. Sugeng menyebutkan kesanggupannya untuk membayar uang muka 600 juta. Sisanya, belum ada ide yang muncul di kepala Sugeng.

Memang Sugeng masih menyisihkan sebuah rumah kontrakan 6 pintu. Tapi itu pun tidak akan menyumbang banyak bila dijual. Lagi pula Sugeng merasa perlu untuk tetap berjaga-jaga. Andai usaha bebek goreng mandek, Sugeng masih akan mendapat penghasilan dari rumah petak itu.

Melihat tekad Sugeng yang sudah bulat, hati sang mentor luluh juga. Toh, baginya uang tak begitu mendesak saat ini. Lagipula niatnya menjual ruko itu memang lebih disebabkan karena ruko itu sulit untuk dikembangkan. Sugeng disarankan untuk pinjam uang ke bank.

Berat, tapi Sugeng sudah setengah jalan. Ia ingin mengikuti sampai di mana perjuangan ini membawanya. Ia akan menuruti sepenuhnya nasehat sang mentor yang ia percaya tulus membantunya. Tentang mentornya ini, Sugeng punya penilaian tersendiri: satu dari seribu orang di Jakarta.

Gagal pada beberapa pertemuan dengan pihak bank, tak membuat Sugeng surut. Satu persatu ia penuhi dokumen yang dibutuhkan pihak bank. Total ada 4 dokumen yang sudah dimiliki Sugeng. Dan kerja keras itu pun berbuah.

"Saya dikasih 900 juta," ujar Sugeng. Ada tekanan pada kata juta itu.
Cerita usai.

Duh, jeruk panas yang saya minum terasa betul manisnya. Oo, ternyata tak ada lagi air jeruk itu, hanya ada sisa-sisa gula yang tidak diaduk dengan sempurna. Terhanyut saya oleh cerita Sugeng.

Malam semakin larut, dan saatnya bagi saya untuk pulang. Saya ucapkan terima kasih pada Sugeng atas ceritanya. Sugeng balas mengucapkan terima kasih. Ia minta saya mendoakan agar usahanya berjalan lancar. Permintaan yang saya jawab dengan kata amien. Saya anggap Sugeng sudah berdoa dengan sendirinya.

Jalan pulang terasa panjang malam itu. Banyak pikiran berkecamuk. Bila Sugeng sudah memiliki sawahnya sendiri, mencukupi airnya dan bertanam sekian butir padi, hanya soal waktu bila Sugeng ingin menikmati hasilnya. Sementara saya, hanya sibuk menggarap sawah orang lain. Berharap upah bulanan. Yang seringkali habis terlalu cepat.
Rekan penulistangguh, kira-kira sawah kita berupa apa ya?

Arde Wisben, di penghujung malam, di suatu hari di bulan Maret 2008.