Penulis: L.A. Meyer
Penerjemah: Ratih S. Jatmiko
Penerbit: Serambi
Aku hanya ingin sebuah kapal kecil,” kataku, “yang bisa mengangkut muatan yang layak dan bisa dioperasikan hanya oleh beberapa—“
“Kami tahu apa yang kau mau, Jacky,” kata Davy. “Simpan saja kata-katamu.”
“Tutup mulutmu, Davy,” semprotku marah karena dia memotong pembicaraanku. “Suatu hari nanti, budak jelek, jika perang telah berakhir dan kau terdampar di suatu tempat, kau akan menjumpai kantor yang bagus milik Perusahaan Angkutan Laut Internasional Faber dan berkata, ‘Apa ada lowongan, Jacky?’ dan aku akan menolakmu.”
Davy tertawa, “Kau harus menerimaku, Jack, karena kita sudah mengangkat sumpah Persaudaraan.”
“Kalau begitu, kau akan kupekerjakan sebagai pesuruh kapal dan kau akan tetap menjadi pesuruh kapal sampai kepalamu botak dan punggungmu bungkuk, dan kau akan menggosok kepalamu sampai berkilau, demi Tuhan!”
Mereka menertawakan, mencemooh dan mendengus mendengar ideku tentang Perusahaan Angkutan Laut Faber. Akan kubuktikan kata-kataku, kawan-kawan. Lihat saja nanti.
Kembali kumainkan jemariku pada serulingku. Jika angin bertiup sepoi-sepoi dan laut tenang begini, aku bisa meniup serulingku dengan lembut di atas sini. Kumainkan lagu-lagu dansa ”Bergegas Menikah” dan “Kelinci Di Kebun Jagung”, lalu lagu sedih “Bonnie-ku Si Penunggang Kuda” yang mendalam, sedih, dan indah. Tapi lagu ini tidak menceritakan tentang seorang gadis yang dibunuh dan dicampakkan ke kuburan sepi, melainkan seorang pemuda yang mati dalam peperangan.
Kawan-kawanku kembali membual tentang bagaimana mereka akan tumbuh menjadi kelasi yang terhormat dan tentang betapa beraninya mereka dalam pertempuran yang lalu. Tapi Jaimy diam seribu bahasa dan aku tahu bahwa ia tidak suka memikirkan apa yang ia lakukan dalam pertempuran di kapal bajak laut itu. Atau barangkali ia memikirkan hal lain.
Anda ingin tahu kelanjutan ceritanya? Dapatkan bukunya di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar