Senin, 25 April 2011

Tidak Ada Dendam

pada suatu hari Minggu saya mengikuti workshop cerpen oleh Iwok Abqary
yang diselenggarakan oleh Forum PBA, ini hasilnya
                                                                             
Sore itu masih cukup panas.  Sarah berdiri celingukan di depan masjid.  Teman-temannya sudah berhamburan pulang selesai mengaji.  Sarah masih kebingungan, ia tidak bisa menemukan sandalnya!  Di mana sandalnya?  Sarah bingung.
Sarah menghentak kesal.  Ia harus pulang bertelanjang kaki sekarang.  Seraya berjinjit, Sarah berjalan keluar gerbang masjid.  Syukurlah ada rumput-rumput yang bisa dipijak, kakinya terasa lebih nyaman dibandingkan menginjak jalanan berkerikil. 
Sesosok tubuh tiba-tiba melompat dari balik tembok pagar masjid.  Sarah tersentak dan hampir saja menjerit, sebelum kemudian berubah mendelik sebal.
“Hayooo... cari ini, ya?” Kendar tertawa sambil mengacungkan sepasang sandal biru.  
“Sandalku!” pekik Sarah dalam hati.  Sarah merengut.  Dengan cepat ia merenggut sandal itu dari tangan Kendar.  Harusnya Sarah tahu kalau Kendarlah yang mengambil dan menyembunyikan sandal itu.  Bukan sekali ini Kendar menjahilinya dan teman-teman lainnya.  Di depannya, anak jahil itu masih terkekeh-kekeh penuh kemenangan.
Sarah memakai sandalnya sambil sekuat tenaga menahan emosi, lalu bergegas meninggalkan Kendar.  Dia tidak boleh terlihat marah di depan Kendar.  Tidak boleh!
“Hey, kamu kok nggak marah, sih?” teriak Kendar sambil berlari mengejar Sarah.
Sarah sok cuek, seperti tidak apa-apa.  “Buat apa? Sandalku kan sudah kembali?” katanya.
Kendar mulai kesal. Anak laki-laki itu kecewa karena reaksi Sarah tidak seperti harapannya. Anak lain yang dijahilinya biasanya akan marah-marah, atau bahkan menangis. Sarah tidak seperti itu.  Sulit sekali melancarkan keisengan pada anak itu.  Lain kali dia harus berhasil.  Kendar bertekad.
“Assalaamu 'alaikum.” Sarah membuka pagar rumah. Ia tersenyum melihat ayahnya sedang sibuk dengan ular-ularnya.
“Wa 'alaikum salaam.” Ayah Sarah menoleh sekilas sebelum kembali mengurusi ular-ular peliharaannya.
Ayah Sarah pedagang ular. Ia memiliki toko khusus untuk menjual berbagai jenis ular. Gara-gara itu pula, Sarah sering diejek Kendar sebagai pawang monster atau ratu horor. Sarah sih tidak peduli. Ia bangga memiliki orang tua yang sayang binatang dan punya profesi unik. 
“Memelihara ular adalah investasi,” kata Ayah suatu waktu.  ”Kalau kita pelihara sejak kecil, ular-ular itu bisa dijual dengan harga tinggi saat besar nanti.  Lagipula, Ayah tidak menjual ular-ular yang berbisa atau suka menggigit.”
Ayah Sarah membuka pet shop di rumah.  Toko itu khusus menjual ular-ular jinak untuk dipelihara.  Selain membuka toko, ayah Sarah juga berjualan ular secara online.  Karena Ayah lebih banyak bekerja di rumah, Sarah sering melihatnya bekerja.  Di waktu luangnya Ayah Sarah menulis buku-buku fiksi dan non fiksi tentang berbagai jenis reptil. 
Ibu Sarah bekerja sebagai dokter hewan di kebun binatang.  Setiap hari Ibu Sarah memeriksa dan mengawasi  kesehatan satwa satwa di kebun binatang tempatnya bekerja. Penyakit satwa di lokasi ini beragam, mulai dari penyakit yang disebabkan perubahan cuaca hingga yang disebabkan jamur atau bakteri.  Ini profesi yang penting namun tidak mudah dijalani.  Ibu Sarah harus berhadapan dengan risiko serangan hewan liar.  Hal ini tidak menyurutkan tekadnya karena ia peduli terhadap kelestarian satwa.  Keberadaan dokter hewan seakan menjadi dewa penolong bagi hewan yang sakit.
Sarah bangga pada pekerjaan yang dilakukan orang tuanya.  Karena itulah Sarah pun terbawa hobi orangtuanya. Ia sangat menyayangi semua binatang. Terhadap ular-ular peliharaan ayahnya pun Sarah tidak takut. Ia sering membantu ayahnya merawat binatang-binatang melata itu.
Kendar tinggal tak jauh dari rumah Sarah.  Ketika bersepeda sore ia sering diam-diam melempar kerikil ke kandang-kandang ular ayah Sarah yang berupa terarium (akuarium tanpa air).  Dulu ayah Sarah pernah memergoki Kendar sebelum anak itu sempat melempar kerikil.  Dengan seekor ular janur tersampir di pundaknya, ayah Sarah memegang bahu Kendar sambil tersenyum ramah.  “Jangan sakiti binatang.  Ular-ular Om tidak akan mengganggumu.  Lihatlah ular janur hijau cerah ini.  Makanannya cicak...”
Begitu Ayah mengendurkan pegangannya dari bahu Kendar, Kendar langsung melompat ke sadel dan mengayuh sepeda sekencang-kencangnya.  Ayah terkekeh lalu kembali membersihkan kandang-kandang ularnya. 
Kendar sebetulnya anak yang baik tapi ia gemar berbuat iseng.  Ketika guru sedang bicara, ia seringkali tak bisa menahan mulutnya untuk nyeletuk.  Biasanya ia sukses memancing kemarahan guru dan mengundang tawa teman-temannya, kecuali Sarah.  Di kelas ia juga senang sekali membuat bola-bola kecil dari gumpalan kertas dan menyentilnya hingga tersangkut di rambut teman-temannya yang duduk di depannya. Anak-anak yang jadi korban biasanya marah, melotot, atau mengomel.  Kendar girang bukan kepalang.  Rambut Sarah yang ikal mayang, seringkali jadi sasaran empuk Kendar untuk mendaratkan bola-bola kertasnya.  Tapi setiap kali ia melakukannya, ia kecewa karena Sarah tidak bereaksi seperti harapannya.  Hingga suatu hari…
“Rotiku mana?!” jerit Kendar ketika jam istirahat.  Ia mendapati tempat rotinya penuh berisi bola-bola kertas.  Lalu Sarah melenggang santai di depannya sambil menggenggam roti gandum lapis yang tinggal setengah.  Roti buatan ibu Kendar!
Kendar juga sering berpura-pura menepuk pundak teman-temannya, padahal maksud sesungguhnya adalah menempelkan sobekan kertas.  Tulisan di kertas itu selalu aneh-aneh,   awas orang gila, awas copet, dua hari belum makan.  dan lain-lain. 
“Betul, kamu sebulan belum keramas?” tanya Rizka cekikikan sambil melepas kertas yang menempel di punggung Sarah. 
Dan itu terjadi setelah tadi Kendar menepuk pundak Sarah dari belakang sambil berkata, “Hebat kamu!  Ulangan matematika dapat sembilan!”
***
Minggu pagi ini langit cerah.  Ayah dan Ibu mengajak Sarah ke pasar.
“Aku mau di rumah bantu Bik Tur memandikan ular, Ayah.”
 “Oke, tapi biar Bik Tur saja yang membersihkan terarium.”
“Iya, Ayah.  Aku kan bisa merendam ular-ular kita di ember sambil dijemur, mumpung ada matahari.”
“Anak pintar.  Jangan lupa sambil diawasi supaya mereka tidak kabur ya.”
“Beres, Ayah.”  Sarah mengangguk pada Ayah lalu menatap Ibu, “Nggak usah bawain Sarah oleh-oleh.  Kemarin kan Ibu udah beliin buku cerita.”
Ibu mengelus pipi Sarah lalu membelai seekor ular piton bernama Molura yang bertengger di leher Sarah.  Molura kesayangan keluarga Sarah.  Ia pembasmi tikus yang paling handal.
Setelah Ayah dan Ibu berangkat, Bik Tur mengenakan sarung tangan karet.   Lalu ia mencampur air dengan cairan desinfektan untuk dan mulai membersihkan terarium-terarium.  Sementara itu Sarah merendam ular-ular di ember sambil menjemur mereka. 
Kriiing...  kriiing...  kriiing...
Telepon rumah Sarah berbunyi keras sekali.  Siapa ya?  Sarah bergegas lari ke dalam rumah melintasi halaman rumput yang luas.  Rupanya Rizka.  Rizka berceloteh tentang adiknya yang baru lahir, namanya Wibi.  Dia lucu sekali.  Sarah jadi ingin punya adik juga.  Sarah dan Rizka mengobrol asyik sekali.  Tiba-tiba...
Kleeeng!  Brukkk! 
“Aaa!!!”
Sontak Sarah menutup telepon dan berlari keluar.  Gawat!  Ia lupa mengawasi ular-ular yang sedang direndam.  Rupanya tadi Kendar terjatuh bersama sepedanya.  Dan dari kejauhan tampak Rainbow si ular pelangi merayap di kaki Kendar.  Bik Tur tidak mendengar karena sedang asyik membilas terarium-terarium sambil menyanyi keras-keras dengan earphone di telinganya. 
“Kamu harus diam saja seperti patung!  Jangan panik!  Nanti dia ikut panik!” teriak Sarah sambil berlari ke arah Kendar. 
Kendar patuh.  Ia berbaring mematung sambil berdoa sementara ular pelangi yang sedang bosan itu merayapi tubuhnya.  Air mata sudah menggenangi mata Kendar ketika Sarah tiba di dekatnya.  Lalu Sarah meraih Rainbow dari pundaknya, dan Kendar pingsan! 
Siang itu ketika ular-ular sedang bergelung nyaman, Sarah dan orang tuanya mengantar Kendar pulang. 
“Maaf ya, Om, Tante.  Tadi Sarah lalai.  Sarah nggak sengaja bikin Kendar pingsan.”
“Tidak apa-apa, Nak,” kata ibu Kendar sambil menyodorkan stoples kue.  “Kamu sering dijahili Kendar ya?”
Sarah menggeleng.  Wajah Kendar memerah.  “Iya Sarah, aku minta maaf karena sering menyembunyikan barang-barang kamu dan mengganggu ular-ularmu.  Maaf, Om.   Rainbow tadi mau balas dendam ya?”  Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ayah Sarah terbahak-bahak.  “Tidak ada dendam.  Rainbow hanya bosan karena Sarah terlalu lama kampanye di telepon.”
“Iiih, Ayah!”


2 komentar:

  1. tuh bulan April masih nulis. ayo nulis cerita lagi, jgn nulis cek aja!

    BalasHapus
  2. Habis gimana, banyak banget cek yg harus ditandatangani *gubrak* ;p Bola-bola kertas di rambut, ring a bell? :D :D :D

    BalasHapus