Judul: London
Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit: Gagas
Gilang adalah penulis roman yang ambisinya tak
sebesar bakatnya. Cerpen-cerpen
karangannya hanya disimpan dalam sebuah kardus, untuk dibaca sendiri. Sebaliknya Ning, sahabat yang juga tetangga
dan teman sekolah Gilang, adalah penggila seni yang sangat mengenal dirinya dan
tahu betul apa yang dia mau. Jika Ning
tak diam-diam mengikutsertakan cerpen Gilang dalam sebuah lomba, mungkin pemuda
itu tak akan pernah menerbitkan karyanya.
Gilang sanggup menciptakan tokoh-tokoh untuk
menggerakkan alur dalam cerita-cerita karangannya, tapi ia kurang memahami
perasaannya sendiri. Ia baru menyadari
cintanya kepada Ning setelah Brutus membaca dan mencetuskan perasaan Gilang
yang terpendam itu.
Selama bertahun-tahun energi hidup Gilang telanjur
tergantung pada Ning, tapi ia tak kunjung menyatakan perasaannya hingga tiba
saat Ning harus meninggalkan tanah air, untuk mendalami seni dan kemudian
bekerja sebagai kurator di London.
Suatu malam, Gilang yang sedang tersendat proses
penulisan novelnya, bersenang-senang bersama keempat teman prianya. Ia telanjur sesumbar, menyatakan akan
mengejar Ning ke London. Di luar dugaan
Gilang, keempat temannya merencanakan perjalanan ke London dengan sangat rapi—memilihkan
rute penerbangan termurah, memesan kamar di penginapan dengan harga terjangkau
yang dekat dari tempat tinggal Ning.
Setelah mendapat izin cuti, Gilang pun nekat
berangkat. Di sana ia harus menanti dalam
ketidakpastian karena Ning ternyata sedang dinas ke luar kota untuk jangka
waktu yang tak bisa ditentukan, sementara kondisi keuangan Gilang hanya
mengizinkannya tinggal selama lima hari.
Setelah Gilang akhirnya berhasil menjumpai Ning, semua tampak begitu
mudah dan indah. Tapi mengapa akhirnya
Gilang justru minta agar Ning meninggalkannya?
Cerita ini sangat menarik karena seorang pemuda
yang menyerahkan arah nasib pada berjalannya waktu, mendadak bertindak
revolusioner. Ia yang takut ketinggian rela
terbang dua puluh jam lebih. Ia juga
harus melalui rangkaian kejadian yang membingungkan, dan seperti dihadapkan
pada cermin saat menyaksikan perjuangan cinta John untuk mendapatkan Madge.
Melalui London,
saya rasa Windry hendak menyampaikan dua hal.
Pertama, manusia cenderung merasa diri paling malang di dunia saat
tertimpa kesusahan, tapi jika kita mau membuka mata, telinga, dan hati, maka sesungguhnya
kita tak pernah sendirian. Kedua, ketika
kita tidak memaksakan kehendak pada nasib, maka ia akan berubah arah menuju jalan yang lebih mulus. Dua pesan itu disampaikan dengan sangat halus dan cantik melalui jalan cerita yang penuh kejutan, dalam balutan pengetahuan tentang sastra dan seni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar