Jumat, 20 September 2013

Meresapi Hujan di London


Judul: London
Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit: Gagas
                          
Gilang adalah penulis roman yang ambisinya tak sebesar bakatnya.  Cerpen-cerpen karangannya hanya disimpan dalam sebuah kardus, untuk dibaca sendiri.  Sebaliknya Ning, sahabat yang juga tetangga dan teman sekolah Gilang, adalah penggila seni yang sangat mengenal dirinya dan tahu betul apa yang dia mau.  Jika Ning tak diam-diam mengikutsertakan cerpen Gilang dalam sebuah lomba, mungkin pemuda itu tak akan pernah menerbitkan karyanya. 
Gilang sanggup menciptakan tokoh-tokoh untuk menggerakkan alur dalam cerita-cerita karangannya, tapi ia kurang memahami perasaannya sendiri.  Ia baru menyadari cintanya kepada Ning setelah Brutus membaca dan mencetuskan perasaan Gilang yang terpendam itu.  
Selama bertahun-tahun energi hidup Gilang telanjur tergantung pada Ning, tapi ia tak kunjung menyatakan perasaannya hingga tiba saat Ning harus meninggalkan tanah air, untuk mendalami seni dan kemudian bekerja sebagai kurator di London.
Suatu malam, Gilang yang sedang tersendat proses penulisan novelnya, bersenang-senang bersama keempat teman prianya.  Ia telanjur sesumbar, menyatakan akan mengejar Ning ke London.  Di luar dugaan Gilang, keempat temannya merencanakan perjalanan ke London dengan sangat rapi—memilihkan rute penerbangan termurah, memesan kamar di penginapan dengan harga terjangkau yang dekat dari tempat tinggal Ning. 
Setelah mendapat izin cuti, Gilang pun nekat berangkat.  Di sana ia harus menanti dalam ketidakpastian karena Ning ternyata sedang dinas ke luar kota untuk jangka waktu yang tak bisa ditentukan, sementara kondisi keuangan Gilang hanya mengizinkannya tinggal selama lima hari.  Setelah Gilang akhirnya berhasil menjumpai Ning, semua tampak begitu mudah dan indah.  Tapi mengapa akhirnya Gilang justru minta agar Ning meninggalkannya? 
Cerita ini sangat menarik karena seorang pemuda yang menyerahkan arah nasib pada berjalannya waktu, mendadak bertindak revolusioner.  Ia yang takut ketinggian rela terbang dua puluh jam lebih.  Ia juga harus melalui rangkaian kejadian yang membingungkan, dan seperti dihadapkan pada cermin saat menyaksikan perjuangan cinta John untuk mendapatkan Madge. 
Melalui London, saya rasa Windry hendak menyampaikan dua hal.  Pertama, manusia cenderung merasa diri paling malang di dunia saat tertimpa kesusahan, tapi jika kita mau membuka mata, telinga, dan hati, maka sesungguhnya kita tak pernah sendirian.  Kedua, ketika kita tidak memaksakan kehendak pada nasib, maka ia akan berubah arah menuju  jalan yang lebih mulus.  Dua pesan itu disampaikan dengan sangat halus dan cantik melalui jalan cerita yang penuh kejutan, dalam balutan pengetahuan tentang sastra dan seni. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar