Ayman dan Buckwheat |
Satu hal yang bisa kita teladani dari anak-anak: kadang kita hanya perlu saling mendengar untuk bisa saling mengerti. Bahasa yang sama bukan jaminan kelancaran komunikasi.
Foto ini diambil saat keponakan saya Ayman baru berusia dua tahun. Anak perempuan di sebelahnya adalah Widi yang berusia lima tahun. Kami berkenalan dengannya saat kami sedang berkunjung ke Jogja menghadiri pernikahan sepupu saya Yusa. Atas nama sopan santun, orang-orang menyuruh Ayman memanggilnya 'mbak.' Bagi Ayman yang sedang belajar bicara dan sama sekali belum terpapar bahasa Jawa, mengucapkan 'Mbak Wid' mungkin bukan hal yang mengasyikkan. Karenanya, supaya lebih keren, yang dia ucapkan adalah 'Buckwheat' dengan logat Amrik abeees *sotoy, ponakan siapa sih?"*
Foto ini diambil saat keponakan saya Ayman baru berusia dua tahun. Anak perempuan di sebelahnya adalah Widi yang berusia lima tahun. Kami berkenalan dengannya saat kami sedang berkunjung ke Jogja menghadiri pernikahan sepupu saya Yusa. Atas nama sopan santun, orang-orang menyuruh Ayman memanggilnya 'mbak.' Bagi Ayman yang sedang belajar bicara dan sama sekali belum terpapar bahasa Jawa, mengucapkan 'Mbak Wid' mungkin bukan hal yang mengasyikkan. Karenanya, supaya lebih keren, yang dia ucapkan adalah 'Buckwheat' dengan logat Amrik abeees *sotoy, ponakan siapa sih?"*
Ada suatu percakapan yang terus terngiang di telinga saya. Di dada Ayman ada bekas luka akibat tersiram air panas saat usianya belum genap setahun.
Wid: Gulumu kenek opo?
Ayman: Kena aewr panas. (dia melafalkan 'r' seperti lafal 'r' dalam bahasa Inggris) Nggak pa-pa, udah fembuh (sembuh--saat itu ia masih sering tertukar antara 'f' dan 's').
Wid: Wis ora loro?
Ayman: Enggak. Ayo main pefawat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar