Selasa, 19 Februari 2008
Anjing, Maafkan Peni
Tragedi + waktu = komedi.
Mungkin hal ini berlaku hanya untuk sebagian orang dengan kasus tertentu, tapi tidak bagi Peni. Sampai detik ini, jantungnya masih memukul kencang bila ia mengingat kejadian mengerikan yang dialaminya semasa ia masih duduk di bangku TK.
Seperti biasa, Peni kecil selalu pulang dengan kakak dan teman-temannya dengan berjalan kaki. Setiap hari mereka melewati sebuah rumah megah dan selalu merasa alangkah beruntungnya orang yang tinggal di rumah sebesar dan semegah itu. “Pasti di dalam ada kolam renangnya”, demikian pikir Peni kecil.
Hari itu meraka berjalan santai sambil mengobrol. Ada yang lain dengan rumah megah itu. Pagar yang biasanya tertutup rapat menganga. Penjaga rumah yang biasanya tinggi , tegap, garang dan berkumis lebat, hari itu digantikan oleh seorang bocah lelaki kecil yang menurut perasaan Peni hanya sedikit lebih besar dari dirinya. Ketika Peni kecil dan gadis-gadis kecil lainnya berjalan melewati pagar, untuk pertamakalinya mereka melihat anjing doberman yang mereka dengar gonggongannya setiap hari. Hanya dalai hitungan detik, sang doberman menghambur ke arah mereka. Bocah kecil penjaga rumah yang memegang tali kendalinya, terseret-seret. Peni kecil dan gadis-gadi kecil lainnya berlari ketakutan sambil menangis.
Kejar-mengejar itu terasa sangat lama dan mencekam bagi gadis-gadis kecil itu karena mereka harus terus berlari melewati tanah pekuburan dan sawah. Mereka terus berlari dan masuk ke rumah penduduk. Hingga datanglah pertolongan Tuhan lewat tangan seorang nenek kurus yang baik hati, yang memberi minum dan menenangkan gadis-gadis kecil itu.
Beberapa menit lamanya mereka duduk bersama. Gadis-gadis kecil itu sudah mulai bisa menguasai diri. Degup jantung dan napas mereka yang memburu sudah berangsur melambat kembali. Akhirnya mereka berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada si nenek kurus.
Namun badai kiranya belum hendak beranjak. Baru lima menit mereka berjalan di atas pematang sawah, sudah menghadang sekawanan angsa yang siap menyerang. Peni kecil yang lelah dan ketakutan menangis sejadi-jadinya. Berkat jeritan Peni, seorang petani menyadari apa yang sedang terjadi dan segera datang menolong. Peni kecil dan gadis-gadis kecil lainnya pulang dengan perasaan yang bercampur-aduk. Jengkel, ketakutan dan lelah. Tapi mereka bersyukur bahwa mereka masih hidup. Ketika mereka disambut oleh suara lembut dan pelukan ibu mereka, mereka menangis dalai kelegaan.
Sang doberman kurang ajar itu akhirnya menemui ajalnya di tangan pemiliknya sendiri. Bapak kaya pemilik anjing galak itu merasa harus menembak sang doberman yang telah menggigit dan melukai anak perempuan kesayangannya. Dalam hati kecilnya Peni kecil merasa kasihan pada si anjing. Tapi bagaimanapun ia lega karena terbebas dari rasa takut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar