Senin, 02 Februari 2009

SURAT UNTUK BAPAK 2: Obama, Oh Papa

Bapak sayang,
Maafkan aku karena masih sering melanggar janjiku padamu, untuk menjaga kebersihan. Aku masih berantakan, masih awut-awutan, seperti dulu lagi. Aku hanya bisa rapi dan teratur sebentar, lalu kembali berantakan. Jangan kuatir, aku usaha terus kok supaya bisa lebih baik menata hidupku, hehhehee... Harapanmu yang lain dariku, agar aku belajar bahasa Sunda, dikabulkan Allah lewat sandiwara radio tentang Samudra, seorang pengrajin anyaman dari sebuah desa di Tasikmalaya. Ini aneh, Pak, karena order sandiwara ini justru datang dari LIA, setelah sekian lama aku berencana cuti di luar tanggungan dan pensiun dini karena rasa jenuh yang menggila. Ah... betapa jika Allah sudah berkehendak maka tak ada yang tak mungkin.

Bapak...
Hari ini aku harus berunding dengan produser sandiwara itu, yang adalah orang-orang dari Keduataan Amerika. Tapi tentu saja aku tidak akan minta doamu, aku tahu itu tidak boleh. Seharusnya aku yang mendoakan Bapak. Aku hanya ingin bilang, aku biasanya mengenakan baju KORPRI-mu ketika aku sedang ingin meneladani semangat dan keberanianmu. Tapi besok aku tidak akan melakukannya, karena kalung kupu-kupu yang Bapak berikan pada Ibu beberapa tahun yang lalu, sejak kemarin sudah resmi menjadi milikku. Ibu bilang kalung itu membuatku lebih lady-like daripada batik KORPRI jadul warisanmu. Serah-terima kalung itu dilaksanakan beberapa saat setelah keajaiban lain terjadi...

Mungkin Bapak belum tahu, SIM-ku sudah empat tahun terakhir ini kedaluwarsa. Sore itu Ibu dan aku berkendara menuju rumah setelah seharian mengukur jalanan berasap ibukota negeri tercinta kita. Tiba-tiba dua polisi gagah-berani yang mengendarai motor seperti Eric Estrada dan Larry Wilcox di serial CHIPS memberhentikan kami, lalu minta surat-surat. Kalau dulu Bapak suka bergaya jenderal ketika disetop Polantas, aku justru dengan lugu menyerahkan saja SIM yang sudah basi itu, beserta STNK (yang belum basi). Lalu aku dan Ibu sibuk dengan pikiran masing-masing. Ibu berpikir kami berdua akan dibui. Aku berpikir akan meminjam uang bengkel dari Sidik karena Polantas itu kira-kira akan minta sekitar satu juta rupiah.

Ternyata Allah berkehendak lain...

Satu polisi menghampiri jendela Karimun merah, “Ini surat-suratnya. Lain kali hati-hati ya, Bu?” lalu pergi begitu saja bagai pesawat tempur *menyanyi seperti Iwan Fals*

Ah... hidup memang hanya numpang minum ya, Pak.

Semoga Bapak baik-baik saja di sana. Di sini kami sedang nyengir kuda melihat orang-orang mabuk Obama. Kita sama-sama tahu bahwa tidak baik menggantungkan terlalu banyak harapan pada sesama manusia, iya kan Pak? Bapak dulu selalu bilang, bergantunglah hanya kepada Allah. Aku jadi merasa jauh lebih beruntung daripada Obama, Pak. Dua tahun dia tinggal di Menteng, seluruh Indonesia mengharapkannya ikut berkontribusi pada negeri kita. Sedangkan aku... dua tahun tinggal di Palu dan tak seorangpun menuntutku untuk membangun Palu, hehehee... Obama, O Papa.

O iya Pak, selain Obama, pendatang baru yang juga sangat populer sekarang adalah Ayman, cucu pertamamu, Pak. Dia lucu dan lincah sekali. Dia hobi tersenyum dan begadang seperti ayahnya. Dia bahkan tidak sabar meninggalkan statusnya sebagai bayi kecil. Setiap hari, dengan tangan terkepal dan alis bertaut, dia berusaha keras untuk duduk. Hanya music box Ibu yang bisa meredam ambisinya itu, hehehe. Ah... semoga di penghabisan cerita yang abadi nanti, kalian berdua bisa bertukar salam, sapa, dan canda. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar