TUGAS YANG MEMBINGUNGKAN
Di bulan September 2014, Kantor memberi saya tugas menulis skenario drama musikal untuk dipentaskan di malam budaya di konferensi lima tahunan pada tanggal 29 April 2015 lalu. Saat menerima tugas saya merasa bersemangat dan tertantang. Maklumlah, beberapa tahun sudah lewat sejak kali terakhir saya membuat skenario untuk Kantor. Agar fokus. saya mundur sementara dari kegiatan mengajar. Sayangnya, dalam hitungan hari terjadi aneka perubahan keputusan super mendadak yang membuat otak serasa ditampar-tampar.
capek deeeh... |
RAPAT SUREALIS
Lalu di suatu siang yang melelahkan pasca "sesi kursi listrik" di departemen kami General English Curricula and Materials, mendadak saya dipanggil untuk ikut rapat Panitia Konferensi. Di sana sudah ada Didik Nini Thowok penari kocak legendaris dan Adi Panuntun dari Sembilan Matahari, juara dunia Video Mapping 2014 di Moskow. Mendadak kepala saya pening. Di ruang rapat itu saya baru tahu bahwa pertunjukan ini nanti akan dilaksanakan besar-besaran, dengan mempekerjakan seniman-seniman besar, di Candi Prambanan yang tersohor. Mas Didik akan berperan sebagai sutradara, koreografer, penata busana, casting director dan menggarap musik serta produksi audio. Mas Adi akan menggarap digital video mapping dalam pentas ini. Di bawah meja saya sempat menusuk telapak tangan dengan peniti, khawatir ini hanya salah satu mimpi gila saya. Sejujurnya saya bangga jika dapat bekerja sama dengan seniman sebesar mereka, tapi saya bertanya-tanya dalam hati: Benarkah sudah ada sponsor besar yang siap mendanai? Saya berdoa semoga ini bukan PHP.
Maka saya mulai menulis cerita ketiga, dengan tenggat yang sama ketatnya dengan kedua cerita saya sebelumnya yang akhirnya tidak terpakai. Tidak apa-apa. Naskah selalu bisa didaur ulang, tidak akan basi seperti bubur ayam. Belasan jam saya habiskan setiap hari di depan komputer. Sangat banyak yang harus saya riset, termasuk denah Candi Prambanan. Maklumlah, seumur hidup saya belum pernah tahu seperti apa
panggungnya. Saya sedikit menyesal mengapa tak pernah tertarik jalan-jalan ke Prambanan. Padahal dua adik sepupu Ibu saya tinggal di Jogja. Ah, sudahlah. Menulis saja.
AUDISI YANG ABSURD
Cerita ketiga selesai dan softcopy sudah saya serahkan. Apakah cerita saya diterima? Tidak. Jangankan diterima, dibaca dan dikomentari pun tidak. Di suatu sore yang muram, tiba-tiba saya disuruh ke auditorium, melihat audisi sebuah sanggar yang biasa pentas di TMII anjungan Kepulauan Riau. Saya heran. Sejak awal, setelah mempertimbangkan berbagai faktor, kami sudah sepakat bahwa pertunjukan ini nanti tidak live melainkan playback. Tapi pimpinan grup yang menampilkan lima tarian ini ternyata membawa pemusiknya sendiri dan ia ingin grupnya tampil live. Saya paham sekali idealisme pemusik yang harus selalu tampil live. Saya sendiri anggota storytelling band yang sedapat mungkin selalu menampilkan dongeng dengan musik hidup. Tapi bukankah sudah ada kesepakatan sebelum grup penari ini hadir? Saya sudah jelaskan, tidak mungkin memadukan pertunjukan live dengan playback, tapi di auditorium yang ramai itu, semua orang sibuk bicara sendiri. Seseorang bahkan bilang ah, penulis kan tinggal menjahit. Tinggal disambung saja dialog-dialog yang sudah ada dengan tari-tarian ini. Sumpah, dalam hati saya ingin sekali koprol sampai Manokwari dan tidak kembali lagi. Tak seorang pun mau mendengarkan saya. Saya justru disuruh riset (lagi) ke Gedung ASEAN, dan menyempalkan satu konten lagi ke dalam tulisan yang sudah sesak pesan itu, yaitu wacana menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN. Hello?!
Selepas audisi kepala saya seperti dihantam truk molen. Didik Nini Thowok sudah punya tim penari/pemain sendiri sebanyak seratus orang. Mereka akan tampil playback dengan kostum gemebyar. Dan jangan dikira gampang membuat skenario untuk seratus orang. Meski tak semuanya berdialog, penulis skenario kan harus memikirkan peran untuk setiap pemain, bloking, dan detil lainnya. Plis deh. Sekarang tiba-tiba ada grup lain yang akan tampil bersama tim Didik, dengan iringan musik hidup dan kostum yang saya belum tahu. Ini tidak masuk akal. Saya merasa seperti koki yang dipaksa menghidangkan tahu tek campur chocolate fudge. Ini fusion ngawur sengawur-ngawurnya. Tapi saya mah apa atuh. Cuma penulis. Alih-alih mempertimbangakan masukan dari saya, mereka justru memberi saya tenggat untuk merevisi naskah. Lagi. Oke. Saya tulis. Nanti akan saya serahkan, dan setelah itu terserah mau diapakan naskahnya. Tapi plis. Sudah. Cukup sampai di sini. Elo, gue, end! Jangan seret saya ke dalam proyek ini lagi.
Softcopy terkirim. Lalu sudah. Beberapa minggu lewat tanpa ada apa-apa. Hidup saya kembali tenang: melakukan pekerjaan sehari-hari yaitu menulis test bersama teman-teman di Departemen GE. Saat tahun baru, saya iseng kirim Whatsapp pada Mas Didik, sambil bertanya sedikit tentang layout panggung. Jawaban yang saya dapat adalah met tahun baru juga, diskusi mendetil nanti saja setelah MOU ya. Oh, rupanya belum ada kontrak. Suatu hari saat sedang di toilet, saya mendengar beberapa rekan bergosip bahwa pertunjukan itu akan dibatalkan. Naskah saya tidak jadi dipakai. Hanya akan ada tari Melayu saja. Sabodo teuing lah aing mah. Sak karepmu. Tulisanku ora kanggo yo gak patheken. Saya menunggu mereka bubar baru keluar dari toilet. Saya memilih untuk pura-pura tidak tahu dan tidak peduli. Hidup saya toh bukan hanya soal kantor ini saja. Alhamdulillah saya berkesempatan mengikuti workshop penulisan cerpen di Kelas Kurcaci Pos dan workshop menulis cerita horor di Kelas Ajaib. Paling tidak saya bisa membuktikan pada diri sendiri, bahwa di luar sana, (barangkali) tulisan saya masih bisa bermanfaat.
HARAPAN YANG BERSEMI KEMBALI
Didik Nini Thowok and me |
"Rat, kapan arep mrene? (Rat, kapan mau ke sini?) Kita tinggal punya lima minggu lagi lho untuk persiapan."
Didik Nini Thowok!
"Hah? Siyos to, Mas?" (Jadi ya, Mas?)
"Lho, piye to sing dhuwe gawe malah rak mudheng?" (Gimana sih yang punya hajat malah nggak ngerti?)
Dan siangnya saya dapat perintah, lusa saya harus ke Jogja dengan penerbangan pertama. Di pesawat saya membaca kembali naskah terakhir yang saya serahkan. Jujur, saya sudah hampir lupa apa ceritanya. Tiga setengah bulan saya melanjutkan hidup dengan asumsi bahwa kegilaan ini sudah berakhir. Ternyata... Lalu saya mencoret-coret poin-poin apa saja yang harus dibahas dengan Mas Didik dan pimpinan di kantor cabang Jogja nanti, termasuk soal teknis sulih suara dan jadwal latihan. Saya gelisah seperti akan dilemparkan ke mulut naga.
Ms Erlina & Mas Didik |
Trio Jenang Gempol |
kopi susu & roti di ruang rapat |
Siang menjelang sore, Mas Didik pergi menjumpai Dubes India. Saya, Ms Erlina dan Ms Eko tetap di ruang rapat. Sementara saya mulai menulis skenario, mereka berdua melakukan koordinasi dengan panitia dari Jakarta, sambil mengumpulkan beberapa guru yang akan menjadi pengisi suara: Ms Yulita, Ms Stephie, Mr Ipoek, Mr Abdyan, Mr Tarigan. Setelah Mas Didik kembali, kami melaksanakan sesi paralel. Mas Didik mengaudisi para penari di ruang sebelah, sementara saya mengaudisi guru-guru yang datang satu per satu ke ruang rapat. Setelah itu Ketua Panitia konferensi dan pihak EO datang membawa surat kontrak dan Mas Didik langsung diminta menandatangani surat itu. Fiuh... Lega! Akhirnya MOU ditandatangani juga.
Prambanan menjelang senja |
jenang gempol dari Bantul |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar