recruitquest.convertool.com |
“Idul Fitri tahun ini membawa keuntungan besar bagi para pedagang petasan dan kembang api,” kata pembaca berita di televisi.
Rohma tersenyum bangga. Pantas saja Ayah memberi uang banyak pada Nenek. Ayah juga membelikan baju-baju baru dan mainan untuk Rohma dan Ayu, sepupu Rohma.
Pembaca berita melanjutkan, “Di libur Lebaran kali ini, para pedagang meraup omset jauh lebih besar dari biasanya. Sejak pagi hari hingga tengah malam, pembeli petasan dan kembang api terus berdatangan...”
Rohma tersenyum makin lebar. Tapi senyumnya lenyap begitu melihat liputan razia. Rohma melihat reporter melaporkan dari lokasi. Polisi datang dengan tiga mobil dan langsung turun menyisir para pedagang petasan, yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Seorang pedagang protes, “Ada apa ini, Pak? Kenapa disita?!”
Dan protesnya dijawab dengan bentakan dan gebrakan.
Rohma cemas. Ia tak ingin hal buruk menimpa Ayah. Apalagi Ibu bekerja jauh di luar negeri.
“Ayah, apa selamanya Ayah akan jualan petasan?” tanya Rohma.
“Memangnya kenapa, kau ingin Ayah kerja sebagai apa, penyanyi? Aktor? Pemain sirkus? Atau penjinak bom?” sahut Ayah sambil terkekeh.
“Dulu kan Ayah jualan bubur, kenapa sekarang jadi jualan petasan sih?”
“Kan sama-sama jualan?”
“Aku enggak mau Ayah kena razia.”
“Enggaklah. Kan kamu doain Ayah terus...”
Ayu muncul di pintu dengan senyum lebar.
“Paman, aku mau main petasan sama Rohma ya?”
Ayah mengangguk.
“Ayo, Rohma,” ajak Ayu. “Aku masih punya dua.”
“Kok cuma dua? Nih, Paman tambahin,” kata Ayah sambil menyodorkan beberapa petasan.
“Rohma, Ayah pergi dulu ya. Ada perlu sebentar. Hati-hati main petasannya,” kata Ayah sambil menepuk-nepuk kepala Rohma.
Setelah Ayah berangkat, Ayu membantu Rohma menghabiskan roti bakar isi keju dan selai stroberi, serta susu cokelat, lalu membereskan bekas makan mereka.
“Kamu kenapa murung, Rohma? Sedih ya enggak bisa Lebaran sama ibu kamu?” tanya Ayu.
Rohma menggeleng. “Aku memang sering kangen Ibu. Tapi tadi malam kami ngobrol panjang dan banyak. Dia baik-baik saja. Bukan soal Ibu.”
“Terus kenapa? Yuk main petasan saja.”
“Aku kepikiran Ayah. Aku takut dia dirazia polisi. Kamu main sendiri saja ya,” kata Rohma.
Ayu pergi dengan kesal.
Rohma menghampiri Nenek di warungnya di bagian samping rumah. Warung Nenek dibanjiri pembeli karena tukang-tukang sayur lainnya libur berjualan. Rohma membantu Nenek melayani para pembeli itu.
Ketika jumlah pembeli mulai berkurang, Rohma mengusulkan sesuatu, “Nenek, ayo dong ajak Ayah bantu Nenek jual sayuran.”
“Nenek bisa sendiri, Rohma. Lagian kamu kan juga sering bantu kalau sedang senggang.”
“Tapi Rohma enggak suka Ayah jualan petasan, Nek. Rohma takut Ayah kena razia. Kan malu sama teman-teman di sekolah. Masa Ayah Rohma masuk tivi dan jadi ngetop karena dirazia?”
Nenek tersenyum sambil mengelus kepala Rohma. Lalu ia sibuk membereskan warungnya.
Rohma kesal. Ayah, Ayu, Nenek, tak ada yang mengerti kekhawatirannya. Tiba-tiba ia ingat. Dulu ayah pernah beberapa kali mengajaknya ke pangkalan bubur Mang Restu. Mang Restu itu juragan bubur ayam tempat Ayah dulu pernah bekerja. Mang Restu sangat baik dan ramah kepadanya. Mang Restu punya anak perempuan yang sebaya dengan Rohma. Namanya Ana. Dia sangat lucu dan menyenangkan.
“Nek, aku boleh main ke rumah Mang Restu enggak?”
“Enggak jadi main sama Ayu?”
“Enggak. Lagi malas main petasan. Boleh ya, Nek?”
“Boleh. Tapi hati-hati ya.”
Rumah Mang Restu cukup jauh. Rohma berjalan dengan susah payah. Di tengah jalan ia dikejar angsa. Lalu ia harus berjalan menanjak dan hampir kehabisan napas.
“Mang Restu! Ana!” sapanya.
“Rohmaaa, apa kabar?”
“Baik, Ana. Kamu rapi betul, mau pergi?
“Iya. Ada ponakan jauh Bapak yang menikah. Kami mau ke Bogor. Ikut yuk?”
"Kapan?"
"Sekarang!"
Ana dan Rohma memandang sandal jepit butut dan baju lusuh kelunturan yang dikenakan Rohma, lalu tertawa bersama.
Mang Restu muncul dengan kemeja batik, disusul istri dan anak-anak mereka yang lain. Mereka semua tampak rapi dan siap pergi.
“Wah aku ganggu nih. Sebetulnya aku mau minta tolong sama Bapak kamu, Ana.”
“Ada apa, Rohma?” kata Mang Restu sabar. “Bicaralah.”
“Tolong suruh Ayah jualan bubur lagi, Mang.”
“Ayahmu senangnya jualan petasan, Rohma. Masa harus dipaksa jualan bubur ayam lagi?” jelas Mang Restu.
Rohma berjalan pulang dengan lesu. Jika tak malu, pasti ia sudah menangis.
Siangnya, Rohma melihat Ayu tertawa-tawa gembira dengan Riri dan Jihan, di tanah kosong dekat rumah Rohma. Petasan kelima siap dinyalakan.
“Taruh sini ya,” kata Riri sambil meletakkan sebuah petasan di bawah pohon pisang.
Limbu menyalakan korek api. “Yaaah... Kok mati?”
Angin bertiup kencang, mematikan api yang belum berhasil menyalakan sumbu petasan.
“Sudah nyala belum?” tanya Ayu.
“Belum.”
“Kok lama sih?”
“Ih, anginnya bandel nih.”
“Enggak seru nih.”
“Coba lagi deh.”
Ketika Ayu mengira petasan itu belum menyala, dia meraih petasan itu. Di luar dugaan, tiba-tiba petasan itu meledak.
“Aduuuh, sakiiit!” jerit Ayu.
Rohma yang sedang membantu Nenek membereskan dagangan, lari menghampiri Ayu. Rohma, Riri dan Jihan membawa Ayu ke Puskesmas. Tangan Ayu berdarah akibat luka bakar.
Selama dua minggu Ayu harus beristirahat di rumah. Tak bisa main atau sekolah. Rohma sedih melihatnya. Tapi ia lega karena Ayah sudah kembali berjualan bubur setiap pagi. Siangnya, setelah Nenek menutup warung, Ayah berjualan roti bakar dan aneka minuman di sana. Setelah Ayu sembuh, anak-anak di kampung mereka tak suka main petasan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar