Selasa, 29 Mei 2007

Aku Benci Kucing

Aku terheran-heran melihat upaya kakakku merawat kucing-kucing kesayangannya. Ketika rumahnya terendam banjir, dia terpaksa menyewa kamar kos selama sebulan dan meninggalkan kucing-kucingnya yang tidak sudi mengungsi. Setiap hari kakakku yang baik itu mendatangi atap rumahnya dengan rakit sewaan untuk memberi makan kucing-kucingnya. Dia hanya tertawa ketika aku menyatakan keherananku. “Yaa, kucing-kucing itu kan yang selalu menemani saya mencuci, menonton TV, dan membaca majalah. Mereka sayang saya.”


Suatu ketika putri sulungku pernah bertanya “Bu, apa Ibu sudah mulai jatuh cinta sama kucing?” Tentu tidak. Aku tidak suka kucing. Aku sudah pernah merasakan sakitnya disuntik di pusar sebanyak 15 kali gara-gara ada seekor kucing rabies menggigitku. Pengalaman itu sudah cukup membuatku jera. Tapi apa daya. Aku menikah dengan laki-laki pencinta kucing. Dan akhirnya kami dianugerahi empat orang anak yang manis-manis, tapi. . . semua pencinta kucing. Jadilah kaum kucing itu warga nomor dua di rumahku.

Sekarang tiga dari empat anakku sudah menikah, dan si bungsu sedang mempersiapkan pernikahannya. Aku sudah tidak sabar menjadi nenek. Sudah lebih dari tujuh tahun aku menunggu. Sebagai manusia normal yang punya prasangka tentu saja aku sempat menyalahkan kucing-kucing yang numpang hidup di rumah kami. Tapi sekarang tidak lagi. Semua anakku ternyata sudah memiliki antibodi dalam tubuh mereka. Aku tidak lagi takut pada virus toxoplasmosis yang mungkin bisa menghadang cucu-cucuku untuk turun ke bumi.

Tapi hal itu tidak lantas menumbuhkan rasa cintaku pada pasukan kucing di rumah kami. Kalau aku memberi mereka makan tiap hari, itu cuma karena solidaritas kaum ibu. Tidak lebih. Aku hanya tidak ingin menjadi mahluk yang sombong karena kebetulan diciptakan Tuhan sebagai manusia. Bukan salah mereka kalau mereka diturunkan ke bumi sebagai kucing. Apakah aku manusia yang diciptakan jauh lebih berdaya lantas harus menjadi sombong? Apa hakku? Tidak ada alasan, bukan? Aku bisa memilih makanan yang ingin kumakan, menonton televisi, mengobrol, membaca koran dan merasakan nikmatnya tawa lepas. Mereka tidak. Aku punya suami yang menafkahi dan membantuku membesarkan anak-anakku. Mereka tidak. Mereka adalah kaum Ibu tunggal yang bahkan harus berjuang melindungi anak-anaknya dari serangan ayahnya sendiri. Apakah itu tidak mengenaskan? Sementara ibu-ibu lain bisa pergi belanja atau ke salon, ibu-ibu kucing itu tidak pernah bisa istirahat dari tugas sehari-harinya. Kasihan bukan?

Suatu hari Lorenza yang cantik, lemah-lembut dan belang tiga datang. Wajahnya sendu dan tingkah lakunya sangat santun. Dia tidak pernah merengek-rengek minta makan dan selalu tahu bagaimana menghormati manusia. Bulunya belang tiga. Kemudian seekor kucing garong putih yang bengis melampiaskan nafsu kebinatangannya pada si molek Lorenza. Kucing preman yang selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencuri makanan kami, naik ke meja kami dan bila isengnya sedang kumat, dia bahkan merasa perlu untuk mengunyah-ngunyah sandal almarhum suamiku. Sesekali dia juga mengencingi komputer anakku (untung bukan CPU-nya) atau mempersembahkan “bubur istimewa” di atas eternit fiber glass di kamarku dan meninggalkan pemandangan yang bukan main indahnya. Tapi ulahnya yang memecahkan rekor MURI (meong urakan Indonesia) adalah menghidangkan “bubur” yang sangat istimewa di peraduanku ketika aku, almarhum suamiku dan anak-anakku sedang mengunjungi kerabat di luar kota.

Kembali ke Lorenza. Dari hubungannya dengan si kucing garong putih yang tidak didasari suka sama suka itu, Lorenza mendapatkan dua anak yang lucu-lucu. Coba bayangkan seandainya Lorenza itu manusia? Mungkin dia sudah menyusun rencana untuk menggugurkan kandungan atau membalas dendam pada laki-laki yang sudah menodainya—seperti di sinetron-sinetron. Tapi Lorenza yang berhati emas menjalani takdirnya dengan ikhlas. Dia sambut kehadiran anak-anaknya, yang manis-manis tapi nakal, dengan penuh semangat. Lorenza adalah ibu yang sangat bertanggungjawab dan penuh kasih. Acapkali anak-anaknya yang iseng itu bersembunyi di balik mesin jahitku, atau di dalam guci tempat menyimpan payung, lalu mereka mengeong-ngeong karena tidak bias keluar dari persembunyian. Lorenza yang sabar akan datang menghampiri sambil mengeong lembut lalu mengembalikan mereka ke tempatnya semula. Dia tidak pernah marah. Tidak pernah mengomel.

Kaum ibu yang punya hobi lepas kendali dan rajin membentak-bentak bahkan memukul anaknya harus menyaksikan betapa lembut dan hangatnya perlakuan Lorenza pada anak-anaknya, niscaya mereka akan merasa malu.

Sebagai ibu dari spesies manusia, aku merasa sangat beruntung. Sejak suamiku masih segar-bugar hingga setahun lewat sejak kepergiannya, cita-citaku untuk menjadi nenek memang belum tercapai. Tapi melihat anak-anakku selalu rukun, memiliki pekerjaan yang layak dan menemukan pasangan hidup yang baik telah memberiku kebahagiaan yang lain. Lagipula apa salahnya membagi kebahagiaan itu dengan ibu-ibu lain? Bukan berarti aku sayang kucing, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar