Selasa, 29 Mei 2007

Kado dari Tuhan

Siapa yang tidak bangga bersuamikan laki-laki setampan Sugi? Terus terang aku girang bukan buatan begitu mendapati Sugi tergila-gila padaku. Tentu aku jual mahal pada awalnya, biasa toh perempuan? Malu kan kalau banting harga! Aku tidak perlu menunggu lama hingga tiba saatnya Sugi melamarku. Semuanya seperti mimpi. Kisah-kisah asmaraku dengan pria-pria di masa lalu semua membuatku jenuh dan lelah. Jenuh bertengkar dan menyesuaikan diri. Lelah menanti kepastian. Tapi dengan Sugi aku seperti menjentikkan jari saja. Dalam hitungan bulan aku sudah resmi menjadi nyonya Sugiharto, laki-laki tampan berotak encer dan berkantung tebal, pujaan banyak wanita. Aku terbuai dengan kegembiraan, kebanggaan dan kebahagiaan. Biar tahu rasa semua pria yang pernah menyakiti hatiku! Biar tahu rasa semua wanita yang pernah menyepelekanku. Ini Sari! Istri pengusaha muda yang tampan putra pejabat tinggi.


“Anak saya sakit!”
“Sabar, Bu! Yang lain kan juga antri!”
“Kamu mau anak saya mati?!!” teriakku sambil memukulkan tanganku ke atas meja di depan wajah petugas pria itu.
Kendali diriku hilang. Aku menangis tersedu-sedu. Lupa pada semua rasa malu. Orang-orang mulai berkerumun menonton kami. Petugas rumah sakit itu tidak punya pilihan lain kecuali mengantarku ke ruang dokter. Dipersilakannya aku dengan wajah bersungut-sungut. Mungkin dia jengkel dan malu. Apa peduliku?! Salah sendiri membiarkan anakku yang sakit menunggu lama! Hahh!!!
Hari sudah hampir pagi. Berjam-jam sudah aku menunggui anakku dalam perawatan.

“Tolong beri gadis kecilku harapan untuk melihat dunia, ya Tuhan. Usianya bahkan belum genap setahun. Izinkan dia menghirup udara dan menapaki jalan kehidupan. Kasihani dia, ya Allah. Ampuni aku. Hukum aku tapi jangan Tisa putri kecilku”, banjir air mata mengiringi doa yang kupanjatkan sepenuh hati.
Di saat seperti ini aku justru bersyukur suamiku Sugi tidak ada di sampingku karena dia tidak akan mengerti. Lagipula aku malu sekali padanya. Andai ia tahu...

***

Halim pacar pertamaku. Kami berpisah bukan lantaran sudah kehilangan rasa cinta. Kami hanya dipisahkan oleh ruang dan waktu. Bertahun-tahun ia kuliah lalu bekerja di negeri orang. Salahkah kami bila tidak bisa membendung rindu ketika sebuah kecelakaan kecil mempertemukan kami?

***

Seseorang menubrukku dari belakang ketika aku sedang berjalan sendiri di mal dengan segelas double espresso di tangan. Bajuku basah dan aroma kopi meruap.

“Maaf, saya tidak sengaja.”

Suara itu membuatku terkesiap. Suara yang dulu pernah bertahun-tahun memenuhi ruang batinku hingga tidak ada sedikitpun tempat tersisa bagi yang lain.

“Sari?!” jeritnya tertahan.

Dan aku segera lupa pada Sugi dengan setumpuk kesibukannya yang membuatku bosans. Kencan-kencan rahasia yang mendebarkan kami lalui dengan gelegak yang membuncah, walaupun itu hanya sebatas makan siang. Aku punya 1001 alasan yang bisa kukemukakan pada bosku dan teman-temanku di kantor setiap kali aku memutuskan makan siang di luar bersama Halim.

Halim memang bukan Sugi. Dia tidak serupawan dan sepintar Sugi. Tapi dia begitu hangat dan penuh perhatian. Dia selalu bisa membuatku tertawa. Hari demi hari kulalui dengan gembira. Ketika nuraniku mulai bicara aku membela diri.

“Sugi tidak pernah memerhatikanku lagi. Kami jarang bercakap-cakap seperti dulu. Dia tidak mengerti aku. Dia selalu tenggelam dalam pekerjaannya”, dalihku.

“Tapi dia suami yang baik. Kaukira dia bekerja keras untuk siapa? Kau kan tahu dia baru saja bangkrut. Dia ingin beranjak dari kebangkrutan dan memanjakanmu lagi seperti dulu!” bantah hati kecilku.

“Berapa kali sudah kukatakan padanya, bukan uang yang aku mau! Aku hanya ingin dia menginginkanku seperti dulu!”

Tapi bila cinta terlarang sudah menancapkan kukunya, suara hati nurani menjadi tidak terdengar. Hanya ego yang bicara menggelegar. Dan menang.

Sering aku dihinggapi pikiran untuk minta cerai dari Sugi dan kembali kepada Halim. Bukankah dia masih sendiri sampai hari ini. Aku tidak menyakiti siapa-siapa. Sugi tidak akan berlama-lama sakit hati. Dia toh sudah tidak peduli padaku. Tapi meskipun suara hatiku hanya bergumam lamat-lamat, toh aku merasa gamang dengan gagasan gila itu.

***

“Rasanya kau sudah hampir tiga minggu terlambat”, suara merdu suamiku yang dulu sering melenakanku, membuyarkan lamunan indahku.

Dan dugaannya terbukti benar. Aku jengkel sekali karena di dalam rahimku bersemayam janin milik Sugi, laki-laki yang sudah membuatku bosan dan ingin segera kutinggalkan. Anak itu bukan milik Halim. Kami belum sejauh itu. Kami hanya makan siang, berbincang-bincang, bertukar canda, dan sesekali berpegangan tangan. Satu hal yang sudah begitu lama tidak kulakukan dengan suamiku.

Aku tidak peduli pada kehamilanku. Aku bersungut-sungut dan tidak mengindahkan seribu satu larangan. dari orang-orang di sekitarku.
“Bukankah usia 26 masih terlalu muda untuk hamil?” seruku pada hati nuraniku yang selalu ingin berontak padaku.

Tapi hati nuraniku yang kurang ajar itu tak mau kalah.

Aku menjadi jengkel padanya dan mati-matian mencari alasan, “Aku masih ingin mewujudkan banyak cita-cita. Untuk apa aku pandai melukis bila lukisanku tidak dilihat orang? Untuk apa aku menguasai tiga bahasa asing bila aku tidak bisa berkeliling dunia? Untuk apa aku bersusahpayah menyelesaikan pendidikan dan merintis karir bila akhirnya tugasku hanya menyuapi dan memandikan bayi? Untuk apa aku punya bayi dari laki-laki yang tidak bisa mengisi kekosongan hatiku?”

Janinku tumbuh sehat meski aku mengharapkan kepergiannya.
Sang waktu sedang mengejekku. Ia berjalan begitu lambat. Menit demi menit yang berlalu menampar-nampar hatiuku. Apa gerangan yang terjadi di dalam sana? Anakku, maafkan Ibu, sayang.

***

Aku merasakan tubuhku digoncang-goncang. Aku mendapatkan diriku terbaring di bangku koridor rumah sakit. Sugi ada di sampingku, wajahnya cemas dan lusuh.

“Kau tidak apa-apa kan, Sari? Bangun, Sari! Tisa selamat. Dia sudah melewati masa krisisnya. Bangun, sayang!”

Aku terhenyak dan beranjak dengan cepat. Tubuhku limbung tapi Sugi berhasil mencegah tabrakan antara aku dan pilar tembok di hadapanku.
“Tisa selamat, Mas? Betul?”

Serta merta kutubruk Sugi dan kupeluk tubuhnya erat-erat. Betapa bodohnya aku selama ini. Kami bergegas mendapati putri kecil kami yang masih terbaring lemas tapi sudah bisa membuka matanya dan mengoceh. Matanya berbinar-binar demi melihat kami.

“Ibu…,” suara lembut itu membunuh semua gundahku.

Terima kasih, Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar