Di sebuah tempat di dasar laut, ada sebuah gua yang dihuni oleh sekelompok tiram. Hewan-hewan laut menyebut gua itu Gua Tiram. Gua itu sangat indah dan menyenangkan karena dikelilingi oleh terumbu karang aneka bentuk yang berwarna-warni. Berbaring di dalam gua sangatlah nyaman karena alasnya adalah tumbuh-tumbuhan laut yang tebal dan empuk. Jika hiu-hiu datang mencari mangsa, gua itu bisa menjadi tempat sembunyi yang aman karena lubangnya yang kecil.
Di antara tiram-tiram di dalam gua itu, ada seekor tiram besar bernama Rami, seekor tiram yang senang berkawan. Rami bersahabat dengan Lula. Lula adalah seekor lumba-lumba yang cerdas, suka menolong, dan periang. Selain Lula dan Rami, ada juga Daut si kuda laut yang gigih dan nekat, Tangla si bintang laut yang pelupa tapi pandai menjaga rahasia, Kanter si ikan terbang yang suka iseng, dan Igur si gurita yang cengeng tapi pandai mengelabui lawan-lawannya. Lula, Rami, Daut, Tangla, Kanter dan Igur adalah enam sahabat yang sangat kompak. Mereka menamakan kelompok mereka Kelompok Gua Tiram. Bagi mereka, Gua Tiram adalah markas resmi tempat mereka bermain dan mengobrol.
Pagi itu Kelompok Gua Tiram sedang resah karena Lula si lumba-lumba sudah hampir dua hari tidak pulang.
“Bagaimana kalau Lula ditangkap manusia dan dijadikan santapan?” rengek Igur si pencemas, matanya berkaca-kaca.
Kanter serta-merta tertawa terbahak-bahak, “Dasar konyol! Jarang sekali ada manusia yang terbit seleranya untuk melahap lumba-lumba. Lumba-lumba itu tidak seperti kamu. Mereka pintar dan bisa dilatih untuk tampil dan menghibur orang banyak. Spesies guritalah yang harus berhati-hati. Kalian bisa saja dipepes, disate, digoreng, hmmm... lezaat.”
Tangla melotot pada Kanter, “Diam kau! Jangan ganggu Igur. Kau kan tahu dia sedang cemas.”
Kanter menyeringai.“Sudahlah, jangan bertengkar. Lebih baik kita berpikir bagaimana caranya mencari Lula,” lerai Rami. “Jangan pikirkan yang buruk-buruk dulu. Mari kita cari sekali lagi.”
Apa yang sesungguhnya terjadi pada Lula?
Ternyata Lula bertemu manusia! Begini ceritanya. Kemarin sore, Lula dan tiga ekor lumba-lumba lain, Lulu, Lala, dan Umba, bermain-main di dekat sebuah kapal penumpang.
“Wah, bagus sekali kapal ini. Aku suka warnanya yang cerah. Aku juga senang mereka mengukir bentuk lumba-lumba di ujung haluan,” kata Lala.
“Aku harap itu artinya mereka suka pada lumba-lumba dan mau bermain dengan kita,” sahut Lula.
Ketiga lumba-lumba memandangi seorang anak laki-laki berkulit gelap, berambut keriting, dan berkacamata, yang sedang menggoda adiknya. Pertama-tama ia mengatakan bahwa persediaan makanan di kapal sudah habis dan malam itu mereka tidak akan diberi makan tapi si adik tidak percaya.
“Reno, tahukah kau bahwa hiu-hiu sering berenang di daerah ini?” anak laki-laki itu kembali beraksi.
“Ikan-ikan buas itu suka sekali memangsa anak laki-laki kecil berambut gondrong sepertimu!”
Umba panik, “Hi... hi... hiu!” lalu ia berenang secepat kilat ke arah pantai.
“Umba! Kembalilah! Di sini tidak ada hiu!” seru ketiga kawannya itu.
Lula, Lulu, dan Lala berenang mengejar Umba sambil tak henti-henti memanggilnya.
Tiba-tiba terdengar sesuatu menghantam permukaan air diikuti suara teriakan panjang. Mereka kaget bukan kepalang.
Ternyata anak laki-laki yang iseng itu terjatuh dari kapal. Ia kehilangan keseimbangan ketika kapal itu oleng. Anak itu dihantam ombak. Ia mengacung-acungkan kedua tangannya memohon pertolongan.
“Kita harus segera menyelamatkan anak itu,” kata Lula. Lulu dan Lala membantu Lula membawa anak itu ke jala yang digantungkan di tiang lengkung di haluan kapal dan manusia-manusia di kapal itu segera mengangkat anak laki-laki yang sudah kehabisan napas itu. Umba yang melihat kejadian itu dari kejauhan segera berenang mendekat. Ia sudah lupa akan rasa takutnya pada hiu.
Ternyata anak iseng itu bernama Monty. Ayahnya, Pak Wattimena, adalah seorang kelasi. Sebagai tanda terima kasih, Pak Wattimena mengajari keempat ekor lumba-lumba itu berbagai keterampilan. Mereka belajar berhitung, bermain bola dan melompati gelang besi. Lula dan teman-temannya senang sekali sehingga mereka tidak sadar bahwa hari telah berganti.
“Pak Wattimena, maaf, kami harus senang sekali belajar dengan Anda, tapi kami harus segera pulang,” jelas Lula pada manusia yang baik hati itu.
“Iya, Pak, hewan-hewan laut yang lain pasti sudah cemas menanti kepulangan kami,” sambung ketiga lumba-lumba yang lain.
“Tidak apa-apa, ikan-ikan yang baik. Aku mengerti. Semoga lain kali kita berjumpa lagi.
Tiba-tiba Monty dan adiknya, Reno, berseru, “Tunggu dulu. Aku punya koleksi permata tiruan banyak sekali. Aku ingin membaginya dengan kalian. Lalu kedua anak laki-laki itu memasukkan batu-batu berwarna-warni ke dalam empat kantong plastik. Tiap ikan mendapat satu kantong.
“Terima kasih banyak, Monty, Reno. Lain kali jangan bercanda di pinggir kapal, “ kata Lula.
Monty tersenyum. “Iya, semoga kita bertemu lagi, tanpa kau harus menyelamatkan aku yang sedang tenggelam.”
Ketiga manusia dan keempat ekor lumba-lumba tersenyum dan saling bersalaman.
Lula dan teman-temannya melambaikan sebelah sirip mereka, lalu berenang pulang dengan gembira. Betapa banyak yang telah mereka dapatkan dalam dua hari terakhir ini.
Sementara itu di Gua Tiram, kawan-kawan Lula yang lain semakin resah memikirkan Lula.
“Rami, kedelapan tentakelku sudah pegal-pegal semua. Sudah hampir dua hari usaha kita sia-sia,” Igur menghela napas panjang.
Untuk beberapa saat, kelima hewan laut diam membisu. Tiba-tiba dari arah laut dalam terdengar cicitan khas lumba-lumba. Kedengarannya sangat gembira.
“Lula! Dari mana saja kau!” kelima hewan laut berseru serempak.
“Kami semua mengira kau sudah tewas, tahu?!!!” tukas Daut yang tak bisa menahan emosinya.
“Kalian mencemaskanku, ya? Maaf deh. Jangan marah, aku bawa oleh-oleh istimewa untuk semua,” Lula membela diri.
Kemudian Lula memerlihatkan lima butir batu berwarna-warni yang indah sekali. Igur dan Tangla segera mengikat batu-batu itu dengan rumput laut. Lalu kelima hewan laut mengambil masing-masing satu dan memakainya sebagai kalung, tanda persahabatan mereka.
Lula menceritakan apa yang terjadi ketika ia menghilang.
“Lula, kau sungguh beruntung bisa berkenalan dengan manusia,” kata Daut.
“Iya, apalagi manusia yang kaujumpai sangat baik dan tidak menangkapmu untuk dijual,” sahut Rami.
“Aku senang, akhirnya cita-citamu tercapai,” kata Igur sambil tertawa renyah.
Kanter belum lelah menggoda Igur, “Awan tipis merata, habis nangis tertawa.”
Lalu Igur membelit wajah Kanter dengan salah satu tentakelnya.
“Ampuuun!” Kanter akhirnya menyerah.
Keempat hewan laut yang lain tertawa terbahak-bahak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar