Selasa, 29 Mei 2007

Kucing Penjahit

Buat sesama pencinta kucing di kemudian.com: Miss Worm, Ayu, Rina, dan Momoderobo. Salam meong!"

Seekor kucing putih bermata coklat duduk manis di atas tumpukan kain denim di depan jendela. Ekornya mengibas-ngibas perlahan dan matanya tampak serius mengamati lalu lalang kendaraan di jalan.

Keisenganku timbul. Kuambil meteran kain dan mulai mengukur badannya. Kucing itu diam saja. Seorang gadis kecil berseragam sekolah yang sedang berjalan menggandeng ibunya berhenti di depan jendela itu.

“Ibu, kucingya mau dibikinin baju!” wajah lucunya tampak kaget dan gembira.


Ibu itu tersenyum. Kuanggukkan kepalaku padanya. Sopan. Mungkin dia pikir aku gila. Atau penyayang binatang keblinger yang tidak tahu bahwa memakaikan baju pada kucing di daerah tropis sama saja dengan memaksanya mandi sauna. Apa peduliku?

Kuamati kucing yang masih asik sendiri itu. Ternyata betina. Aku suka sekali padanya. Dan kelihatannya perasaan kami sama. Kuberi dia nama Mimi. Seperti nama yang dulu pernah kurencanakan untuk kuberikan pada anak perempuanku, yang belum ada hingga kini. Mimi kucing yang manis. Siang itu aku makan bersamanya. Kami makan soto mi. Waktu aku minum kopi susu, kuberi dia sedikit. Hebat. Dia tidak sakit perut. Keliahatannya dia bisa makan apa saja dengan penuh rasa khidmat dan syukur. Ah... Senja itu, setelah selesai dengan pekerjaanku menjahit dan mereparasi jeans, kubawa dia pulang. Dia jinak sekali. Dan dia menemaniku dengan setia selama aku mengerjakan sedikit pekerjaan rumah tangga di rumah kontrakanku yang cuma terdiri dari satu ruangan itu. Malam itu aku makan nasi dengan ikan mungil alias teri dan mentimun. Dan dia makan dengan lahap bersamaku. Aku terharu melihat seekor kucing yang begitu tahu membawa diri. Bahkan timun bagiannyapun dihabiskannya hingga tandas. Waktu aku berbaring, kuajak dia berbaring di sisiku. Terima kasih, ya Allah. Rupanya ini jalanmu untuk membebaskanku dari jeruji sepi. Selama ini aku memang selalu berdoa agar mendapat jalan mengatasi rasa sepiku. Aku selalu sendiri. Orang tua dan adik-adikku berada jauh di Ternate. Dan aku bukan orang yang suka ngobrol-ngobrol dengan orang yang tidak terlalu kukenal.

***

Keesokan paginya aku berangkat kerja. Mimi berjalan mengikutiku sampai ke pintu. Akhirnya kuputuskan untuk menggendongnya dan membawanya ke tempatku bekerja. Dia sahabat yang baik. Dia tahu di mana harus buang air dan tidak minta perhatian secara berlebihan. Setumpuk kain perca sudah cukup untuk membuatnya nyaman. Gadis kecil berseragam sekolah yang kemarin lewat, menarik tangan ibunya kuat-kuat. Rupanya ia ingin melihat kucing baruku.

“Mau ke mana, Nak? Apa kau ingin dijahitkan baju? Kita tidak punya kain!”

“Sebentar saja, Bu. Aku cuma ingin tahu apa kucing itu jadi dibuatkan baju.”

“Ah, kau ada-ada saja”.

“Ayolah, Bu. Ini kan masih pagi. Kita tidak akan terlambat.”

“Hhh...”

Dan kedua anak-beranak tiba di hadapanku.

“Maaf, Pak. Anak saya mengira Anda akan menjahitkan baju untuk kucing ini. Maklumlah, namanya juga anak-anak.”

Aku tersenyum dan kugamit tangan anak perempuan itu. “Siapa namamu?”

“Kayla”, dia menunduk.

“Kayla, apa kau senang kalau kucing ini aku beri baju?”

Dia mengangguk kuat-kuat.

“Tapi tidak bisa buru-buru, ya? Aku masih banyak pekerjaan. Beri aku waktu dua minggu. Sekarang kau harus berangkat ke sekolah kan?”

Dia mengangguk lagi.

“Apa kau punya kucing?”

Dia menggeleng.

“Kalau begitu kucing ini milikmu juga. Namanya Mimi.”

Anak itu melonjak-lonjak kegirangan. Sejak hari itu, setiap akan pergi sekolah, Kayla kecil selalu mampir untuk menjenguk kucingnya. Ibunya menunggu dengan sabar sambil mencoret-coret. Entah apa.

***

Sore itu aku memutuskan untuk membawa Mimi berjalan-jalan di taman kota. Taman itu cukup besar untuk ukuran Jakarta. Di sekeliling taman ada lintasan jogging. Di kedua sisinya ada kandang merpati dan di kedua sisi yang lain ada dua pohon besar yang dipasangi ayunan. Di antara dua pohon besar itu ada bangku-bangku kayu dan kolam ikan. Aku suka suasana di sana. Aku memang selalu suka baru rumput dan warna bunga. Hari ini kunjunganku ke sana jauh lebih asyik karena sekarang ada Mimi. Sebagai kucing yang penurut, ia tidak marah waktu lehernya kupasangi kalung dari perca denim yang kutulisi nomor telepon dan alamatku. Sebut aku pongah, tapi aku memang merasa kucingku sangat cantik dan aku tidak mau orang yang mungkin akan menemukannya mengira bahwa ia tidak punya pemilik. Aku membawa sedikit makanan dan harmonikaku. Ketika kami sedang asyik bergurau, pandanganku tertumbuk pada sebuah sedan mengilat. Dari dalamnya berduyun-duyun keluar sebuah keluarga kecil yang bahagia, yang tiba-tiba datang untuk berpiknik. Anak-anak yang lucu, ayah yang gagah dan... ibu yang cantik. Tentu saja karena ia bekas tunanganku, Intan. Dan aku tidak tahu bahwa aku masih mencintainya sampai saat ini. Setelah sekian tahun tidak melihatnya, hatiku masih berdesir ketika memandang wajahnya. Hatiku seperti diiris-iris, tapi aku lega melihat Meni bahagia. Bukan salahnya, bukan salahku juga. Kami memang bukan jodoh. Itu saja. Selintas timbul niatku untuk menghampirinya. Hahh... Aku jengkel pada diriku sendiri dan kuputuskan untuk pulang. Jangan sampai ia melihatku. Aku tidak ingin melihat sinar iba di matanya bila ia tahu aku masih sendiri dan masih bekerja sebagai tukang jahit.

***

Sesampainya di rumah aku berdoa lagi. Aku berdoa setulus hati untuk kebahagiaan Intan. Aku tahu bahwa setelah kami berpisah dulu bukan hanya aku yang hancur lebur tapi juga dia. Ya Allah, semoga suaminya sungguh-sungguh menyayanginya dan anak-anaknya tidak menyusahkannya. Tak terasa air mataku jatuh menitik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar