Kamis, 03 Juli 2008

BENAHI DULU SAWAHMU

Sebuah jurnal oleh Arde Wisben,
seorang penulis yang saya jumpai di komunitas Penulistangguh dan Kemudian
Ada yang berbeda dari warung bebek goreng yang biasa saya sambangi. Bila beberapa waktu lalu mereka selalu membuka tenda di depan sebuah ruko, sekarang mereka telah berada di dalam ruko itu sendiri. Penasaran, saya tanya pada seorang pelayannya, "Mas, sekarang nyewa ya?"

Kaget, mendengar jawaban lugas sang pelayan, "Beli!"

Oh, hebat sekali pemilik warung ini. Lokasi di sekitar jalan Petogogan, Jakarta Selatan ini pasti harganya sudah melebihi angka 1 M. Banyak juga uangnya. Bila ada kesempatan, ingin saya berbincang dengan juragan warung bebek goreng ini.

Lalu, kesempatan pun itu datang. Beberapa hari yang lalu, saya datang ke warung itu agak malam. Bebek goreng favorit sudah habis. Hanya tersisa ayam goreng dan seekor lele. Melihat sambal mentah kesukaan masih ada, saya rela untuk bersantap ayam goreng saja malam itu.

Sengaja mengambil posisi posisi duduk di meja bagian luar, saya berhadapan langsung dengan sang pemilik, yang sepertinya sedang asyik menghitung uang. Sesekali ia menyelipkan uang kepada para krunya. Saya kira itu adalah tips mereka malam itu.

Usai makan, saya coba membuka obrolan, "Jadi gimana status ruko ini Mas."

Kontan, sang pemilik, yang kemudian saya ketahui bernama Sugeng, menghentikan aktifitas menghitung uang dan berkata, "Saya beli Mas."

Ya, itu saya sudah tahu sebelumnya. Yang membuat penasaran adalah, bagaimana cara dia membelinya. Hus, tak perlu buru-buru, saya yakin jawaban itu akan meluncur sendiri dari mulut Sugeng. Dan benar, Sugeng melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat.

"Yang punya ruko ini, saya kenal sudah 11 tahun, Mas," lanjut Sugeng, "Suatu malam saya diundang kerumahnya."

Kata demi kata mengalir dari mulut Sugeng. Ada nada bangga di sana. Sesekali dengan nada tertahan, setengah berbisik. Sugeng sepertinya ingin meyakinkan bahwa semua ceritanya adalah fakta yang benar.

Malam ketika diundang ke rumah sang pemilik ruko itu, boleh jadi merupakan titik balik dalam hidup Sugeng. Ia ditawari oleh pemilik ruko untuk mengambil alih rukonya. Sugeng kaget. Tak pernah hadir dalam mimpinya keinginan untuk memiliki sebuah ruko. Sugeng merasa cukup dengan tenda biru, beberapa meja dan kursi.

Ya, seperti pedagang makanan kebanyakan, Sugeng hanya mengandalkan kebaikan hati pemilik toko untuk merelakan teras mereka dipakai oleh penjual makanan. Tekat dan semangat, Sugeng menjadi bagian dari komunitas pedagang makanan yang memenuhi setiap sudut kota, di waktu malam.

Meski harus diakui, Sugeng relatif lebih mapan. Ia punya mobil yang siap sedia bergerak bila stok bebek habis. Punya lebih kurang 5 anak buah yang handal. Minimal lebih mapan dari seorang anak muda yang saya temui berjualan pecel lele di daerah Kalibata, beberapa tahun yang lalu.

Pemuda itu, awalnya datang ke Jakarta dengan niat berdemo membela mantan presiden Gus Dur. Entah sebab apa, perjalanannya di Jakarta berubah menjadi tukang demo masak pecel lele. Modalnya standar; tenda biru, meja dan kursi serta wajan. Semua dikerjakan sendiri. Saya sampai membuka tutup teh botol sendiri, karena tak sabar menunggu ia menyediakan pesanan buat pelanggan lain.

Kembali ke Sugeng, pembicaraan malam itu tampaknya tak masuk akal baginya. Bagaimana mungkin ia memiliki ruko di bilangan Petogogan. Apa kata dunia?

Setelah memberi sedikit waktu bagi Sugeng untuk syok, sang pemilik melanjutkan pembicaraannya tentang penertiban yang sedang marak di Jakarta. Kali ini topiknya mulai masuk akal bagi Sugeng. Ia tahu betul derita para pedagang ikan dan bunga di Barito. Dan baru-baru ini ia mendengar jeritan pedagang makanan yang diusir dari Taman Gajah Darmawangsa.

Perbincangan malam itu menjadi makin nyata bagi Sugeng. Tapi tampaknya kata perbincangan tidak tepat untuk menggambarkan suasana malam itu. Sugeng lebih tepatnya dinasehati oleh pemilik ruko.

Sugeng diberitahu kemungkin terburuk bila ruko itu tidak dimilikinya. Akan ada orang lain yang memiliki ruko tersebut. Andaikan Sugeng lolos dari penertiban, belum tentu pemilik ruko yang baru mengijinkannya untuk tetap berjualan.

Malam itu rasanya menjadi malam yang akan dikenang Sugeng seumur hidupnya. Ia mendapat nasehat dari seorang tutor yang luar biasa. Dari sekian banyak omongan sang tutor, yang melekat erat dalam pikiran Sugeng cuma sebait kata, "Benahi dulu sawahmu."

Ya, Sugeng dinasehati bahwa sebagai pedagang makanan, penting baginya untuk mempunyai tempat yang permanen. Tempat itu ibarat sawah baginya.

Bila ia sering berpindah, maka langganan akan sulit mencarinya kembali. Begitupun kalo ia pulang ke kampung, ia harus yakin bahwa ketika kembali ke Jakarta, tempat berdagangnya masih ada.

Singkat kata, hanya satu kata yang keluar dari mulut Sugeng, itu pun nyaris tak terdengar: "Berapa?"

Begitulah, Sugeng pulang dengan badan yang serasa melayang. Satu setengah milyar, dari mana akan kudapat? Tapi Sugeng menikmati betul percakapan mereka malam itu. Sugeng disadarkan bahwa membenahi sumber penghasilan lebih utama dibanding membeli atribut untuk menunjukkan kesuksesan. Setelah berunding dengan istrinya, Sugeng sampai pada kesimpulan, mobil kebanggaannya akan dilepas. Begitu pun sebuah rumah.

Selanjutnya dengan bermodal hasil penjualan rumah dan mobil tadi, Sugeng kembali mengunjungi mentornya. Sugeng menyebutkan kesanggupannya untuk membayar uang muka 600 juta. Sisanya, belum ada ide yang muncul di kepala Sugeng.

Memang Sugeng masih menyisihkan sebuah rumah kontrakan 6 pintu. Tapi itu pun tidak akan menyumbang banyak bila dijual. Lagi pula Sugeng merasa perlu untuk tetap berjaga-jaga. Andai usaha bebek goreng mandek, Sugeng masih akan mendapat penghasilan dari rumah petak itu.

Melihat tekad Sugeng yang sudah bulat, hati sang mentor luluh juga. Toh, baginya uang tak begitu mendesak saat ini. Lagipula niatnya menjual ruko itu memang lebih disebabkan karena ruko itu sulit untuk dikembangkan. Sugeng disarankan untuk pinjam uang ke bank.

Berat, tapi Sugeng sudah setengah jalan. Ia ingin mengikuti sampai di mana perjuangan ini membawanya. Ia akan menuruti sepenuhnya nasehat sang mentor yang ia percaya tulus membantunya. Tentang mentornya ini, Sugeng punya penilaian tersendiri: satu dari seribu orang di Jakarta.

Gagal pada beberapa pertemuan dengan pihak bank, tak membuat Sugeng surut. Satu persatu ia penuhi dokumen yang dibutuhkan pihak bank. Total ada 4 dokumen yang sudah dimiliki Sugeng. Dan kerja keras itu pun berbuah.

"Saya dikasih 900 juta," ujar Sugeng. Ada tekanan pada kata juta itu.
Cerita usai.

Duh, jeruk panas yang saya minum terasa betul manisnya. Oo, ternyata tak ada lagi air jeruk itu, hanya ada sisa-sisa gula yang tidak diaduk dengan sempurna. Terhanyut saya oleh cerita Sugeng.

Malam semakin larut, dan saatnya bagi saya untuk pulang. Saya ucapkan terima kasih pada Sugeng atas ceritanya. Sugeng balas mengucapkan terima kasih. Ia minta saya mendoakan agar usahanya berjalan lancar. Permintaan yang saya jawab dengan kata amien. Saya anggap Sugeng sudah berdoa dengan sendirinya.

Jalan pulang terasa panjang malam itu. Banyak pikiran berkecamuk. Bila Sugeng sudah memiliki sawahnya sendiri, mencukupi airnya dan bertanam sekian butir padi, hanya soal waktu bila Sugeng ingin menikmati hasilnya. Sementara saya, hanya sibuk menggarap sawah orang lain. Berharap upah bulanan. Yang seringkali habis terlalu cepat.
Rekan penulistangguh, kira-kira sawah kita berupa apa ya?

Arde Wisben, di penghujung malam, di suatu hari di bulan Maret 2008.

2 komentar:

  1. PERAMAXXX!!! :D
    Wah Mbak ini bikin saya mikir. Sawah siapa yang akan saya garap setelah lulus nanti? Bisa nggak ya saya punya sawah sendiri? Hmm...

    BalasHapus
  2. Gyahahaha... Bisa asal kau rajin berlatih dan minum Milo setiap pagi *demam iklan*

    BalasHapus